perdagangan manusia

Posted on Rabu, 09 Juni 2010 by aniez _me_

Memberantas Perdagangan Manusia Melalui Undang-undang

Oleh: Latifah Iskandar

Ketua Pansus RUU PTPPO, Anggota DPR Fraksi PAN

Mencemaskan sekali melihat kasus perdagangan manusia yang dilakukan dalam skala luas terhadap perempuan dan anak Indonesia. Untuk memberantas praktik perbudakan modern ini, DPR mengambil prakarsa pengembangan sebuah Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RUU PTPPO). Untuk pembahasan, penulis mendapat kepercayaan sebagai ketua panitia khusus (pansus). RUU ini dijadwalkan bisa disahkan dalam tahun 2006 ini.

Data statistik komprehensif perdagangan perempuan dan anak kita memang tidak tersedia. Biarpun demikian, diperkirakan ratusan ribu orang telah mengalaminya (Rosenberg, 2003;30). Ada laporan puluhan perempuan Medan diperdagangkan sebagai budak seks ke Malaysia. Juga, anak perempuan Manado ke Papua dan anak Indramayu ke tempat hiburan di Jakarta.

Perdagangan manusia tidak terjadi hanya untuk eksploitasi seks. Pada kunjungan kerja ke Kalimantan Barat, penulis bertemu anak perempuan yang dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Dia dijanjikan bekerja di pabrik di Malaysia, tetapi nyatanya dipaksa bekerja sebagai PRT. Kendati telah bekerja enam bulan, ia tak menerima gaji apa pun, bahkan majikan kerap menyiksanya. Selain itu, praktik perdagangan juga dilakukan untuk tujuan pekerja kapal asing, penari kebudayaan, dan perkawinan pesanan.

Pada kunjungan ke Kuala Lumpur, Malaysia, penulis menyaksikan ratusan anak perempuan kita korban perdagangan sedang berlindung di KBRI. Penulis berbincang dengan enam korban. Mereka mengatakan, mulanya mereka hendak bekerja setelah tidak mampu lagi melanjutkan sekolah. Sebagian dari mereka hanya sampai tamat SD atau SMP. Pelaku perdagangan manusia menawarkan untuk bekerja ke Malaysia. Ternyata, pekerjaan yang dijanjikan tidak pernah ada, malah mereka dijual kepada komplotan perdagangan manusia di Malaysia.

Kesaksian korban ini memberikan penjelasan kepada kita, perempuan dan anak putus sekolah cenderung mencari kerja. Keputusan itu nyatanya tidak diimbangi dengan informasi memadai tentang jenis pekerjaan yang tersedia dan bagaimana proses yang benar mendapatkannya.

Tampak sekali aparat kelurahan maupun dinas tenaga kerja setempat hampir tidak pernah membantu perempuan dan anak mendapatkan informasi tersebut. Situasi ini dimanfaatkan komplotan perdagangan manusia untuk memerangkap mereka.

Dengan demikian, faktor putus sekolah, aspirasi bekerja, dan macetnya informasi ketenagakerjaan merupakan aspek penting terjadinya perdagangan manusia. Sedihnya, faktor ini kelihatannya dialami sebagian besar wilayah Indonesia.

Urgensi RUU

Program ekonomi, penyebarluasan informasi, dan akses pendidikan di wilayah rentan perlu dilancarkan untuk pencegahan perdagangan manusia. Program ini juga lebih berorientasi pada korban dan masyarakat agar lebih kebal dari jebakan perdagangan. Di samping pemberdayaan korban, pelaku perdagangan manusia harus pula diberantas. Untuk tujuan ini, kita memerlukan instrumen hukum yang memadai. Ternyata, materi hukum yang kita punya sekarang tidak cukup untuk menanggapi kompleksitas kejahatan perdagangan manusia. Beberapa aspek penting yang tidak memadai dalam perundang-undangan kita meliputi definisi, sistem pembuktian kejahatan, dan perlindungan korban.

a. Problem definisi

Ada dua UU yang paling relevan dalam kejahatan ini, yaitu UU KUHP Pasal 297 dan UU Perlindungan Anak tahun 2002 Pasal 83. Hanya saja kedua UU ini tidak memberi definisi perdagangan manusia. Ketiadaan definisi ini membawa masalah serius dalam penerapan kedua UU itu dalam kasus yang seharusnya dikategorikan sebagai perdagangan manusia.

Problem ini ditemukan, misalnya, dalam kasus sindikat perdagangan perempuan di bawah umur asal Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. (www.liputan6.com, 12/05). Dalam kasus ini ternyata pelaku hanya dituntut dengan tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur, menipu data tenaga kerja, atau menganiaya calon TKW. Ancaman hukumannya 2,8 tahun penjara. Hukuman ini terlampau ringan dibandingkan bila menggunakan Pasal 297 KUHP yang memiliki ancaman hingga 6 tahun penjara.

Hal yang sama juga dialami untuk kasus penari telanjang ke Jepang atas nama jasa impresariat yang terjadi baru-baru ini. Pihak kejaksaan menolak menggunakan Pasal 297 KUHP atas dasar korban sudah dewasa.

b. Kejahatan terorganisir

Pemidanaan praktik serupa perdagangan manusia dalam UU yang ada lebih fokus pada kejahatan perorangan. Padahal nyata sekali praktik perdagangan manusia dilakukan secara terorganisir. Secara teknis hukum, penyelidikan dan penyidikan kejahatan perorangan dan teorganisir seharusnya berbeda. Demikian juga definisi hukum tentang kejahatan terorganisir harus diuraikan jelas sebab kejahatan ini bisa berbasis pada hubungan perkomplotan yang “kuat” ataupun “longgar”. Umumnya organisasi kejahatan perdagangan manusia dilakukan sindikat dengan organisasi tanpa struktur, tetapi melibatkan beberapa orang, termasuk bekerja sama dengan aparat yang menyalahgunakan wewenangnya.

3. Perlindungan korban

Korban perdagangan manusia menderita secara jasmani dan batin. Ternyata, UU yang ada tidak menyediakan bantuan yang memadai bagi korban.

Seharusnya ada bantuan untuk korban yang wajib diberikan menurut UU. Bantuan bisa meliputi penanganan luka jasmani dan trauma, klaim atas hak sebagai pekerja, dan kemudahan berurusan dengan proses hukum sebagai korban tindak pidana. Yang terakhir ini adalah kunci keberhasilan penuntutan hukum perdagangan manusia.

Ketiga aspek penting ini merupakan argumentasi dasar mengapa kita memerlukan UU baru tentang pemberantasan perdagangan manusia. Untuk itu, DPR dan pemerintah perlu bekerja keras agar Indonesia memiliki UU antiperdagangan manusia yang komprehensif dan memadai diterapkan.

sumber: Harian Kompas, 08 April 2005

referensi: Latifah Iskandar